Monday, July 23, 2012

Yockie Suryoprayogo

Value - by Yockie Suryoprayogo

(Dibawah ini adalah artikel berkaitan dengan Iwan Fals yang ditulis oleh Yockie Suryoprayogo, seorang musisi yang lama berkecimpung dengan dunia musik di Indonesia. Yockie Suryoprayogo antara lain pernah bergabung dengan grup band “God Bless”, “Swami” dan “Kantata (Takwa dan Samsara)”. Dua nama band terakhir adalah grup band yang ikut membesarkan nama Iwan Fals.)

Artikel berikut kami tampilkan dalam media ini atas seijin langsung dari penulis.
Selamat membaca dan semoga menambah wawasan kita. Terima kasih. (sb)

Value
Oleh : Yockie Suryo Prayogo

Kali ini aku tergiring untuk menulis pendapat pribadi yang tentu saja subyektvitasnya juga tinggi, namanya saja pendapat pribadi.


Merosotnya nilai-nilai yang baik dalam bermasyarakat yang ditandai dengan rontoknya satu demi satu nama tokoh-tokoh atau figur-figur besar yang ada dimasyarakat kita saat ini, membuat hati semakin miris saja. Bangsa ini benar-benar sedang dilanda krisis yang tidak main-main seriusnya.


Di dunia politik, hukum, ekonomi, sosial dan budaya, hampir tak ada atau bisa juga disebut semakin sedikit jumlah orang-orang terkemuka yang masih bisa dijadikan ukuran panutan dan yang relatif masih baik. Karena saya adalah seniman musik, maka menjadi wajar bila sudut pandang terdekat saya adalah seniman sebagai langkah awal evaluasi keadaan.


Iwan Fals saya kenal dalam pergaulan musik semenjak akhir tahun ’70-an, atau mungkin sekitar tahun ‘79-an, persisnya saya lupa. Yang pasti adalah ketika saya bersama almarhum Chrisye mengerjakan album “Sabda Alam” di Musica Studio.


Saat itu setiap harinya saya selalu menemuinya dibilangan jalan Perdatam-Pancoran, dimana dia selalu nongol setia bersama motor Honda 125 cc nya atau motor jangkrik istilah yang biasa digunakan.


Satu kali pernah dia menyampaikan keinginannya untuk ingin bekerjasama dengan saya sebagai music - arranger bagi albumnya. Namun karena jadwal saya masih padat disibukkan bersama Chrisye, maka keinginan kerja bareng tersebut belum bisa terlaksanankan.


Beberapa tahun setelahnya disebuah pagelaran musik panggung terbuka di wilayah Jaya Ancol, dimana ada sebuah konser musik bertajuk ‘Rock Kemanusiaan’ yang saat itu saya bersama kelompok God Bless menjadi salah satu dari pengisi acara tersebut. Disana jugalah saya melihat Iwan Fals tampil lewat mata kepala saya sendiri.


Bengal, liar, urakan dan seenak dirinya sendiri saja, itu kesan pertama dari awal saya menyaksikan penampilannya. Namun diurutan berikutnya hingga akhir penampilannya dipangung ada sesuatu yang saya lihat dan saya rasakan dari figur seorang Iwan Fals, sesuatu yang tidak sekedar penampilan biasa.


Sesampainya di cottage Putri Duyung dimana kita semua (pengisi acara) menginap, disuatu pagi (setelah malamnya konser) didepan cottage / kamar saya, saya ngobrol diatas rumput diatas batu besar berdua bersama Gito Rollies dengan santai. Tak selang beberapa lama datang Iwan menghampiri lalu bergabunglah kami duduk bertiga.


Saya langsung teringat waktu memperhatikan dia dipanggung kemarin, lalu seketika itu juga secara spontan meluncur kalimat-kalimat dari mulut saya. Saya katakan didepan Gito Rollies saat itu.


“Gue kagum ama elo kemaren, Wan!. Satu saat lo akan jadi seniman besar!”.


Demikian salah satu kalimat saya.


"Ach....lo bisa aja...!"


Demikian kurang lebih reaksinya.


Saya berikan beberapa alasan yang membuat saya menjadi apresiatif menonton dia nyanyi, walau dari belakang stage.


Beberapa tahun kemudian setelah masa itu saya menjumpai dia dibilangan Kebon Jeruk-Kemanggisan di kediaman Setiawan Djodi. Saat itu dia sedang menyelesaikan album pertama Swami, yang kemudian kita kenal dengan hit's nya “Bento” dan “Bongkar”. Singkat kata, kami semua sepakat melakukan workshop bersama teman-teman lainnya setelah kerja album Swami I selesai dengan tuntas.


Dimulai dari masa-masa tersebut, intensitas kedekatan saya bersama dia semakin tinggi. Saya semakin ‘dalam’ bisa menyusuri watak serta mengenal lebih jauh keperibadiannya yang dimata saya sangat impulsif, meledak-ledak. Walau semestinya saya tak perlu heran mengingat saya sendiri juga berkepribadian hampir serupa, namun mengenal dia lebih jauh rasanya. Dia lebih jauh meledak-ledak bila dibandingkan dengan saya...he :).


Hingga ketika fase dia mengerjakan album ‘Orang Gila’, dirumahnya dibilangan Cipanas. Suatu hari kita ngobrol akrab dan santai saya katakan padanya bahwa:


“Wan.., jangan mengecewakan pengemarmu Wan..., orang-orang terpinggirkan yang telah kau wakili keberadaannya dan lain-lain sebagainya!”.


Kita ngobrol panjang lebar secara intens, menyentuh hampir semua wilayah dalam kehidupan kita, dunia politik serta lain-lainnya. Singkat kata, dia berupaya dengan keras menyampaikan pada saya tentang kegundahan hati dan perasaan berat yang amat terasa membebani pundaknya.


Apakah itu..?. Konsekuensi yang tak diharapkan atau feedback dari cara berekspresinya.


Dia hanya ingin konsisten menjadi sebuah cermin yang apa adanya dari potret sosial yang tengah melanda masyarakat kita, itu pada intinya. Namun harapan serta ekspektasi tinggi masyarakat yang berbalik pada dirinya, menuntut dia untuk menjadi pahlawan perlawanan atau perjuangan praktis bagi perang terhadap segala bentuk penindasan.


Jelas disana berbagai macam golongan dan kelompok masyarakat tumplek ruah menjadi satu barisan mengantri dan menunggu jawaban yang konkrit darinya. Agar dia segera mengimplementasikan kenyataan, yaitu....turun kejalan. Baik bersama barisan mahasiswa maupun bersama kelompok-kelompok massa politik akar rumput lainnya.


Sebuah tugas yang bukan saja berat, namun jelas bukan tanggung jawab yang seharusnya dipikulkan diatas pundaknya. Saya secara pribadi bisa mengatakan bahwa kondisi masyarakat kita pada saat itu yang mulutnya tersumbat, sedang mencari celah bagi katup pelepasnya. Dan sang katup pelepas penyumbat yang dicari sedang menuju atau menggiring seorang penyanyi bernama Iwan Fals untuk menjadi bulldozer yang akan diperankan sebagai calon martirnya.


Hanya keberanian serta keteguhan sikap yang bisa menjawab segala himpitan berat yang membebani pundaknya, yaitu... sebuah kejujuran.


Sebuah kejujuran yang berani mengatakan dalam diri kita sendiri, “Siapakah aku?”, yang bisa membuat kita tak lupa diri, tak jumawa, tak sombong atau angkuh serta arogan karena telah merasa besar dan populer dan yang terpenting bukan sekedar berlidung pada kalimat ‘jujur’ seolah sudah tidak menipu diri sendiri.


Iwan Fals, dia telah membuktikannya. Untuk tidak terjebak dan terseret dalam gemerlapnya godaan tahta politik yang menyilaukan mata. Dia kembali untuk tetap menjadi dirinya sendiri, seorang Virgiawan Listanto yang dikenal dengan sebutan Iwan Fals yang seorang pengamen, seorang warga negara yang tetap kritis, seorang suami, seorang ayah dari sebuah keluarga. Sebuah kejujuran yang semakin terasa langka dapat kita temui diantara berbagai barisan tokoh masyarakat yang masih tersisa .


Harapan saya semoga bisa bertahan orang-orang yang serupa, sebab hari ini semakin banyak berjatuhan orang-orang yang terlena oleh tahta dunia.


Respect, itu yang terasa dalam hati saya. Bukan karena saya mengenal dia, atau bukan karena dia Iwan Fals yang memang selalu dipuja karena kegantengannya. :). (jsop)

Keterangan foto:
1) (dari kiri ke kanan) Yockie Suryoprayogo, Iwan Fals dan Riantiarno (teater Koma).
2) Cover album Swami I - 1989.
3) Pagelaran Kantata Takwa 2003. (dari kiri ke kanan) Yockie Suryoprayogo, WS Rendra, Setiawan Djodi, Iwan Fals dan Sawung Jabo