Bung Karno lahir di Surabaya, pada tanggal 6 Juni 1901, seratus tiga tahun yang lalu. Tanggal 6 Juni bagi kita rakyat Indonesia adalah sangat penting, karena tanggal 6 Juni adalah hari lahirnya seorang putera Indonesia, yang kemudian memimpin perjoangan bangsanya melawan penjajahan Belanda, perjoangan yang meruntuhkan kekuasaan penjajahan tersebut dan kemudian menegakkan kemerdekaan nasional bangsa Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945.
Kita memperingati hari lahirnya Bung Karno, bukan karena terpaksa atau memaksa-maksa diri, akan tetapi disebabkan oleh rasa cinta kita pada Bung Karno, kepemimpinannya, ajaran-ajarannya, persepsi-persepsinya dan garis-garis perjoangannya, yang selalu konsisten membela kepentingan rakyat Indonesia sampai pada akhir hidupnya.
Banyak orang yang melupakan Bung Karno, akan tetapi kita tidak. Banyak orang yang mengingkari Bung Karno pada suatu saat dan kemudian mengkhianatinya di saat yang lain, akan tetapi kita tidak. Banyak orang yang menghina, mencaci-maki, meludahi, menista Bung Karno, dengan sikap dan bahasa yang menusuk hati dan bahkan immoral, tetapi kita tidak.
Untuk itu, tanggal 6 Juni adalah waktu yang paling layak bagi kita untuk mengutarakan sikap jiwa dan sikap kemanusiaan kita terhadap Bung Karno. Kita berhak untuk itu, karena sejarah Indonesia adalah saksinya yang hidup dan juga saksinya yang paling besar tentang manusia Soekarno.
Bagi kita, Bung Karno adalah putera Indonesia terbesar. Ia tampil, tumbuh, tegak, jaya, kemudian runtuh - dari, dalam dan bersama sejarah Indonesia. Soekarno telah memberi jiwa dan semangat bagi perjoangan bangsa Indonesia untuk menegaskan harga diri dan kemerdekaannya.
Soekarno juga telah gugur ke dalam bumi Pertiwi, menjadi rabuk dan pupuk bagi pertumbuhannya ke masa kemudian. Seorang pemimpin dan pahlawan yang telah gugur dalam memperjoangkan bangsa Indonesia untuk mempertahankan hayatnya sepanjang masa. Demikianlah ini sudah harus kita jadikan suatu keyakinan yang tertancap kokoh dalam kalbu kita masing-masing.
Bung Karno adalah Bapak Bangsa, bapak kita semua. Dengan pengakuan ini kita dapat melepaskan diri dari klaim biologis yang sempit terhadap Bung Karno, dan mengangkatnya jauh lebih tinggi dari perhitungan maupun kesan sekunder apapun juga, dalam segi yang bersifat politis, historis, psikologis, maupun pribadi. Bapak yang memimpin dan mempersatukan bangsa yang besar ini dengan konseskuen.
Sejak tahun 1928, Bung Karno membakar semangat massa di berbagai rapat umum. Para pengunjung makin membanjir mendengar pidatonya. Teriakan “merdeka”, tuduhan “penghisapan”, permusuhan terhadap “pihak sana”, dan ejekan terhadap Belanda, segera menjadi istilah yang terkenal di kalangan rakyat banyak.
Tiap kali Bung Karno mengecam dan mengejek kekuasaan penjajah, semangat massa meluap-luap, akan tetapi telinga para mata-mata, pulisi, dan pejabat-pejabat daerah, berubah menjadi merah dan panas. Karena tidak tahan, pulisi makin sering maju memotong atau menghentikan pidato Bung Karno.
Bung Karno adalah guru kita, guru perjoangan bangsa Indonesia. Dengan berguru kepada Bung Karno, kita dapat terhindar dari pengkhianatan terhadap bangsa dan belajar waspada supaya jangan jatuh menjadi budak kolonialisme gaya baru atau neo-kolonialisme.
Dengan mencontoh Bung Karno, kita juga dapat belajar kebal terhadap egosentrisme, neopotism, dan lain-lain aliran mempertahankan diri sendiri, dan kepentingan diri sendiri di atas kepentingan rakyat banyak. Dengan berguru kepada Bung Karno kita dapat menguasai teori-teori perjoangan yang relevant, cocok dan serasi dengan kemauan dan keinginan rakyat kita, yang menyuarakan dann menginterprestasikan Amanat Penderitaan Rakyat dengan jitu dan tidak mengada-ada.
Dengan berguru kepada Bung Karno, kita dapat menjadi patriot dan nasionalis yang sejati, yang mementingkan persatuan dan kesatuan bangsa di atas kepentingan suku bangsa, golongan dan pribadi. Inilah hikmahnya kita berkenalan, mempelajari, dan menjadikan Bung Karno guru politik dan guru perjoangan kita.
Bung Karno adalah pejoang kemerdekaan dan patriot sejati. Ia tidak rela Tanah Air dan Bangsanya dijajah oleh bangsa asing, baik dalam ekonomi maupun politik. Kalau Bung Karno mau hidup mencari kesenangan dan kenikmatan sendiri, dari dulu saja tidak usah berjoang, tetapi ikut Belanda, sudah beres.
Ia adalah sarjana teknik (Insinyur Soekarno), dan menguasai / mengerti lima bahasa, Belanda, Inggeris, Jerman, Perancis dan Indonesia, di samping bahasa-bahasa daerah, seperti Jawa dan Sunda. Ia tidak meminta apa-apa, dan tidak meminta balas jasa, yang diminta oleh Bung Karno hanyalah jagalah persatuan dan kesatuan bangsa, jagalah keutuhan dan keselamatan Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila ini, dan antarkanlah Rayat ke pintu gerbang keadilan dan kemakmuran.
Bung Karno adalah pemimpin besar kita, yang berjiwa besar. Ia bagaikan Nabi Musa yang dengan sabar menghadapi kepala batunya bani Israel, dengan wibawa dan rasa cinta yang tiada ternilai. Seperti juga Musa yang mati di tengah jalan menuju Kanaan, negeri terjanji penuh susu dan madu, demikian juga Bung Karno tidak ubahnya dengan Julius Caesar, yang menghadapi pengkhianatan Brutus dengan rasa kasihan yang tidak terhingga di akhir hayatnya.
Orang perlu menggali kembali ucapan Bung Karno pada suatu waktu kepada seorang yang telah berhasil merenggut kepercayaannya dengan bahasa yang tidak kalah mengharukannya, dengan kata-kata Julius Caesar kepada Brutus. Ia menghindari terjadinya perpecahan nasional dan pertumpahan darah besar-besaran sesudah 30 September 1965.
Ada pula satu yang maha penting. Bung Karno-lah yang dalam pidato 1 Juni 1945, mengumumkan Pancasila, lima dasar kebanggaan yang kini kita sahkan sebagai filosofi bangsa, ideologi Negara dan asas tunggal politik Indonesia. Apapun juga alasan ilmiah untuk mempersoalkan status 1 Juni, tidak ada yang dapat memungkiri bahwa 1 Juni adalah Hari Lahirnya Pancasila. Ini suatu fakta yang mutlak benar, suatu aksioma sejarah yang tidak dapat dibantah.
Semua tadi yang telah kita kemukakan adalah fakta. Semua yang kita ungkapkan tadi adalah kebenaran yang tidak dapat disangkal. Saksinya adalah sejarah, bangsa, manusia Indonesia, dan kita yakin bahwa ini adalah hal yang benar. Bahkan Tuhan Yang Maha Kuasa mengetahui bahwa 1 Juni 1945 adalah hari di mana Pancasila diumumkan oleh Ir. Soekarno ke tengah-tengah bangsa Indonesia. Siapakah yang ingin membantahnya?
Jadi, pada akhirnya kita harus berlaku ksatria demi kejujuran terhadap sejarah bangsa, bahwa Bung Karno dan hanya seorang Bung Karno yang dapat melakukan karya sejarah yang besar dengan memikul di atas pundaknya segala beban sejarah yang cukup berat itu.
Justru untuk mengenang kembali peranan dan jasa Bung Karno yang tidak ternilai itulah, maka 6 Juni kita jadikan pangkal-tolak untuk melihat Bung Karno dari kacamata nasional-obyektif dan historis-obyektif, demi kepentingan membina dan membela sejarah Indonesia dengan sikap yang d e w a s a. Yang kita petik dari hikmah sejarah mengenai manusia Soekarno dan peranannya bukanlah abunya, akan tetapi apinya. Inilah yang harus kita camkan dengan tulus.
Perkenankanlah kami mengakhiri tulisan ini dengan mengutip ucapan Bapak Jusuf Ronodipuro, yang kami kenal pribadi sewaktu beliau menjabat sebagai Atase Pers Perutusan Tetap RI pada PBB dan kemudian Duta Besar RI di Argentina. Dalam New York Times, 4 Juni 2002, ia menulis: “In a thousand years, there will only be one Sukarno.”
Washington, D.C. 6 Juni 2004
Eddie Suroyo Sastro
Lampiran:
Surat Bung Karno dari Penjara Sukamiskin, 17 Mei 1931
Sukamiskin, 17 Mei 1931
Saudaraku!
Baru sekarang saya menulis dari Sukamiskin, karena orang tangkapan hanya boleh berkirim surat sekali dalam dua minggu. Sesudah masuk ke dalam rumah kurungan, hampir semua yang saya bawa dari rumah tahanan di Bandung, diambil. Setiap hari saya mesti bekerja keras. Malam hari, badan sudah letih sehingga belajar pun tak ada hasilnya.
Sukamiskin tak lebih daripada rumah kurungan, dan saya ini adalah orang hukuman, yang mesti menyembah larangan dan suruhan, seorang manusia yang mesti melupakan kemanusiaannya. Orang hukuman tiada lain daripada seekor binatang ternak; orang hukuman menurut Nietzche, ialah orang yang dijadikan manusia yang tidak mempunyai kemauan sendiri, seperti binatang ternak.
Namun demikian, hatiku tinggal tetap; tak pernah saya melupakan suara hatiku. Bukankah Sir Oliver Lodge telah mengajarkan “No sacrifice is wasted,” atau dalam bahasa Jawa “Jer basuki mawa beya.”