Liputan6.com, Jakarta: Peraturan Daerah (Perda) No 11 tahun 2011 tentang Pajak Restoran disahkan 29 Desember lalu memuat subyek yang dikenakan pajak tak hanya melingkupi orang yang makan atau minum di restoran, namun juga warung tegal (warteg). Pasalnya, kata 'Restoran' mendapat perluasan makna dengan menyebutkan jenis tempat restoran, termasuk di antaranya warung.
Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Kiagus Ahmad menyayangkan Perda ini lantaran mayoritas konsumen warteg adalah masyarakat lapisan menengah ke bawah. Hal ini dikarenakan harga makanan di warteg lebih terjangkau.
"Jadi mereka pun turut dibebankan membayar pajak, sehingga semakin memberatkan masyarakat," ucap Kiagus dalam media gathering di Kantor LBH Jakarta, Jakarta Pusat, Sabtu (4/2).
Sekretaris Ikatan Keluarga Besar Tegal (IKBT) Arief Muktiono mengatakan, saat ini banyak usaha warteg yang bangkrut disebabkan semakin tingginya harga kebutuhan pokok. Menurutnya, dengan adanya pungutan pajak ini, maka diprediksi semakin banyak usaha warteg yang akan gulung tikar.
"Padahal dulu, ketika krisis ekonomi di mana harga sembako naik 300 persen, para pedagang warteg tetap bisa menyumbang bagi warga Jakarta dengan tetap menyediakan makanan murah," ucap Arief.
Dengan demikian, lanjut Arief, ketika pedagang warteg banyak yang tutup akibat tidak sanggup membayar kutipan Pajak Restoran, maka dampaknya akan meluas. "Konsumen-konsumen kita kan kelas kecil. Buruh, petani, nelayan, mahasiswa dan lainnya akan kehilangan tempat makan yang murah dan terjangkau dari kantong mereka," terangnya.(ADI/ULF)
Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Kiagus Ahmad menyayangkan Perda ini lantaran mayoritas konsumen warteg adalah masyarakat lapisan menengah ke bawah. Hal ini dikarenakan harga makanan di warteg lebih terjangkau.
"Jadi mereka pun turut dibebankan membayar pajak, sehingga semakin memberatkan masyarakat," ucap Kiagus dalam media gathering di Kantor LBH Jakarta, Jakarta Pusat, Sabtu (4/2).
Sekretaris Ikatan Keluarga Besar Tegal (IKBT) Arief Muktiono mengatakan, saat ini banyak usaha warteg yang bangkrut disebabkan semakin tingginya harga kebutuhan pokok. Menurutnya, dengan adanya pungutan pajak ini, maka diprediksi semakin banyak usaha warteg yang akan gulung tikar.
"Padahal dulu, ketika krisis ekonomi di mana harga sembako naik 300 persen, para pedagang warteg tetap bisa menyumbang bagi warga Jakarta dengan tetap menyediakan makanan murah," ucap Arief.
Dengan demikian, lanjut Arief, ketika pedagang warteg banyak yang tutup akibat tidak sanggup membayar kutipan Pajak Restoran, maka dampaknya akan meluas. "Konsumen-konsumen kita kan kelas kecil. Buruh, petani, nelayan, mahasiswa dan lainnya akan kehilangan tempat makan yang murah dan terjangkau dari kantong mereka," terangnya.(ADI/ULF)